Sawit Menggeser Lahan Pangan “kami ganti sawah kami menjadi kebun sawit, karena sawit lebih menguntungkan dan lebih tahan terhadap banjir dan kemarau ”

Oleh: Nurbaya Zulhakim

Propinsi Jambi memang terkenal dengan pengembangan sektor perkebunannya , terutama perkebunan tanaman karet yang merupakan warisan turun temurun yang mulai dikembangkan sejak Jambi ini ada , hampir semua masyarakat pedesaaan yang tersebar di semua kabupaten mengembangkan tanaman karet (Kecuali Kab. Tanjabbar dan Tanjabtim), Demikian juga halnya dengan budidaya tanaman pangan, merupakan warisan budaya turun temurun yang dikembangkan beriringan dengan tanaman karet, masyakat pedesaan menjadikan karet sebagai sandaran hidup untuk mencukupi kebutuhan sandang, pakaian dan lauk pauk. Sementara padi, jagung dan sayur-sayuran merupakan makanan pokoknya.
Umumnya masyarakat mengembangkan tanaman padi dengan membuka sawah (lahan Basah) dan umoh (lahan kering), juga ladang yang biasa ditanami dengan tanaman sayur - mayur yang dilakukan di dalam per kampungan, sementara karet biasa dikembangkan di tempat yang agak jauh dari perkampungan, tempat ini biasa disebut talang. Masyarakat pedesaan sejak lama memenuhi kebutuhan pangannya dari produ ksi sawah atau umoh mereka sendiri. secara arif mengelolah tanaman padi dan karet secara berimbang, sehingga tidak terfikirkan untuk memilih salah satu diantaranya. Seluas apapun lahan yang mereka punya, selalu menyisihkan lahan yang diperuntukkan khusus untuk tanaman padi. Ringkasnya, budidaya pangan sejak awal memang merupakan sandaran untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok, bukan sebagai nilai tukar untuk kebutuhan lainnya.
Demikian juga halnya dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkembang seiring dengan program transmingrasi yang masuk di Jambi sejak tahun 1984, konsep pemerintah pun tepat dengan mengklas ifikasi lahan menjadi 3 bagian yang diberikan kepada masing-masing keluarga peserta transmigran , Lahan Usaha 1/ LU1 (1 Ha) yang diperuntukkan sebagai lahan untuk tanaman pangan dan palawija, Lahan Usa ha 2 (2 Ha) untuk tanaman keras/perkebunan dan LP (1/4 Ha) untuk lahan tempat tinggal dan pekarangan. Lima tahun yang lalu hamparan tanaman pangan (padi dan jagung) masih berimbang dengan tanaman perkebunan karet dan sawit, akan tetapi saat i ni berbeda jauh, tidak ada lagi hamparan sawah yang luas, terutama di wilayah -wilayah transmigrasi, jangankan LU 1 (lahan 1 Ha untuk tanaman pangan), lahan pekaranganpun telah disulap menjadi kebun kelapa sawit. Demikian juga halnya di kampung -kampung pedusunan, ada banyak lahan sawah yang telah beralihfungsi menjadi tanaman kelapa sawit, hal ini bisa kita lihat disepanjang jalan Kecamatan Kumpeh Ilir Kab. Muara Jambi, Beberapa desa Di kec. Batin XXIV dan Kec. Pemayung, yang terparah adalah alih fungsi lahan pangan menjadi perkebunan kelapa sawit terjadi di 3 Kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur hingga seluas 15.701 Ha, alih fungsi ini terjadi hanya dalam satu tahun yakni dari 2008-2009. (JE, 15 Januari 2010).
Meningkatnya harga kelapa sawit, dan semakin komplek snya persoalan dalam budidaya tanaman pangan baik mengenai tekhnis, bibit, irigasi maupun faktor alam seperti tidak menentunya iklim menjadi alasan bagi banyak petani sehingga menggantinya dengan tanaman kelapa sawit, yang dinilai jauh lebih menguntungkan dan lebih kuat beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. “Nanam padi kadang dak balek modal, mano lagi harus ditunggu terus karena diserang hama, kalau sawit modal awalnyo be yang besak, habis tu bisa ditinggal, diupahkan galo, tigo tahun setelah itu tin ggal metik hasil be, kami ganti sawah kami jadi sawit karena sawit lebih menguntungkan, jugo tahan keno banjir dan kemarau”. Ungkap pak Saimin, petani di Desa Karmio Kec. Bathin XXIV Kab. Batang Hari.
Banyaknya izin-izin perusahaan perkebunan sawit pun menjadi salah satu pemicu meningkatnya jumlah alih fungsi lahan pangan secara signifikan, baik yang membuka areal perkebunan dengan cara membangun kemitraan ataupun dengan cara membeli lahan dari masyarakat setempat dimana izin lokasi tersebut dikeluarkan, kalau kemampuan membangun kebun bagi masyarakat atau petani berkisar 1 sampai 10 Ha akan berbeda jauh dengan perusahaan yang mempunyai target pembangunan kebun mulai dari raturan hingga ribuan Ha. Terbatasnya ketersediaan lahan tentu akan mengancam tercap loknya lahan-lahan pangan potensial. Seperti yang terjadi dibeberapa desa di Kec. Bathin XXIV, melalui pemerintahan desa setempat pihak perusahaan perkebunan sawit membeli lahan pangan potensial milik masyarakat hingga seluas 200 Ha, dan membangun skema kemitraan pada lahan-lahan pangan potensial milik masyarakat hingga mencapai 3000 Ha. (hasil investigasi Tim SETARA -AMPHAL Januari 2010). Tanpa ada penanganan serius terhadap kondisi ini, maka bukan hal yang mustahil bahwa tanaman padi atau mandiri pangan akan hanya tinggal cerita dongeng belaka. Tentu ancaman kelaparan pun tidak kan terelakkan, ketika tiba -tiba harga sawit anjlok, kemampuan daya beli menurun. Saat ini kita bisa berdalih bahwa Propinsi Jambi ada pada jalur strategis dalam mengakses beras da n tanaman pangan lainnya dari berbagai daerah untuk memenuhi kebutuhan pangan , akan tapi siapa yang bisa memastikan untuk tidak terjadi bencana alam, jalan putus dll. Karena untuk mengantisipasi semua kemingkinan -kemungkinan buruk tersebutlah sehingga semua kita harus berfikir bagaimana menciptakan keseimbangan dalam pemgembangan sektor perkebunan dan pertanian.

Komentar