Pengembangan Pupuk Organik

Surat Kabar Berkah
Nomor 256, Tahun Kesepuluh, 8 - 10 Maret 2010
Oleh : Dewi Haryani dan Mewa Ariani
    Salah satu masalah dalam pembangunan pertanian adalah terus berlangsungnya proses degradasi sumberdaya lahan pertanian terutama menurunnya kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah. Sebagai akibat dari penggunaan tanah yang over intensive, menurunnya penggunaan pupuk organik, serta kurangnya penerapn usahatani konservasi. Gejala terjadinya tanah “lapar pupuk” yang menuntut penggunaan dosis lebih tinggi untuk sekedar mempertahankan tingkat produktivitas yang dicapai. Hal ini berkaitan dengan terkurasnya unsur-unsur hara mikro dan menurunnya kesuburan tanah akibat semakin habisnya bahan-bahan organik.
      Perombakana bahan organik pada lahan atau tanah didaerah tropis berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan dengan di daerah sub tropis, sehingga kandungan bahan organik umumnya rendah. Kandungan C-organik tanah sawah Indonesia umumnya <0,5 %, kandungan yang diangap baik adalah >1 %, serta ideal > 2,5 – 4 %. Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik dari aspek kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan lahan pertanian dan dapat mencegah degradasi lahan.
      Selain untuk perbaikan tanah, penggunaan pupuk organik juga untuk menghemat anggaran negara. Dengan penerapan teknologi pupuk, kimia tunggal maupun majemuk hingga 100 %. Jika teknologi pupuk hayati ini diterapkan maka konsumsi pupuk urea yang diperkirakan mencapai 5,9 juta ton dapat diturunkan menjadi 4,5 juta atau bisa dihemat 1,4 juta ton atau 23,7 %.

Kebijakan pengembangan Pupuk Organik
      Sejak tahun 2008, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk subsidi pupk organik dan non organik, yang pada waktu itu mencapai Rp. 17,53 triliun. Kebutuhan pupuk organik mencapai 17 juta ton, yang dipenuhi dari empat industri pupuk utama (Sriwijaya, Kaltim, Petrokimia Gresik dan Kujang) sebesar 450 ribu ton, sedangkan sisanya dipasok oleh produsen swasta dan petani sendiri. Untuk mengembangkan penggunaan pupuk organik ditingkat petani, pemerintah melalui Departemen Pertanian telah memfasilitasi bantuan berupa Alat Pembuat Pupuk Organik (APPO), Rumah Percontohan Pembuatan Pupuk Organik (RP3O) dan bahan dekomposer kepada kelompok tani untuk mendorong pengembangan penggunaan pupuk organik di masing-masing wilayah dengan memanfaatkan sisa tanaman atau jerami sebagai bahan baku.
    Dalam penetapan sistem intensif dan pemberian subsidi pengembangan pupuk organik pada tahap awal memang diperlukan karena pemanfaatan pupuk organik dinilai mendesak mengingat semakin menurunnya nilai marginal produktivitas pemanfaatn pupuk kimia. Namun dalam pemberian subsidi pupuk organik komersial perlu mempertimbangkan struktur industri, tanpa menggangu kinerja produksi oleh produsen pupuk kimia skala besar, maka perlu dipertimbangkan subsidi silang untuk mendorong percepatan pemanfaatan pupuk organik. Sementara, pengembangan pupuk organik non-komersial perlu mendapatkan dukungan intensif yang intensif mencakup pengembangan teknologi, penyuluhan, pendampingan, dan lain – lain.

Pemanfaatan Jerami dan Kotoran Ternak
    Pengembalian jerami ke tanah lahan sawah dapat memperlambat pemiskinan K dan Si tanah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian, dengan membenamkan jerami 5 ton/ha/musim selama 4 musim dapat mensubstitusi keperluan pupuk K, jerami dapat mengingatkan produksi melalui perbaikan sifat fisik dan kimia tanah. Sumbangan hara dari jerami setara dengan 170 kg K, 160 kg Mg, 200 kg Si dan 1,7 ton C-organik/ha yang sangat diperlukan bagi aktivitas jasad renik tanah. Dapat memperbaiki struktur tanah sawah yang memadat akibat penggenangan dan pelumpuran terus menerus. Tanah menjadi lebih mudah diolah sangat baik bagi pertumbuhan akar tanaman palawija yang ditanam setelah padi.
     Kesimpulan ini juga sejalan dengan hasil wawancara dengan beberapa kelompok tani di Provinsi Banten, bahwa pada lahan-lahan sawah yang sebagian besar jeraminya (90 %) dikembalikan ke tanah setelah 4 musim tanam produktivitas padi meningkat kurang lebih 5 – 10 %. Potensi jerami segar yang tersdia di Provinsi Banten sekitar 52.360 juta ton. Apabila diasumsikan semua jerami segar dipakai untuk memupuk lahan sawah, maka lahan sawah yang dapat dipupuk jerami segar dengan dosis 5 ton/ha seluas 10,4 juta ha, sedangkan apabila menggunakan jerami yang dikomposkan maka lahan sawah yang pata dipupuk seluas 15,7 juta ha. Potensi bahan pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak unggas, sapi, kuda, kerbau, kambing dan domba sebanyak 64,83 juta ton. Bila lahan pertanian memerlukan pupuk kandang 5 – 10 ton/ha, maka kotoran ternak tersebut dapat digunakan untuk memupuk 6,18 – 12,37 juta ton.

Penggunaan Pupuk Organik
      Harus diakui petani terlena dengan penggunaan pupuk kimia bahkan cenderung berlebihan untuk mengejar produktivitas hasil. Sehingga anjuran penggunaan pupuk organik masih belum diadopsi secara optimal, terlihat dari realisasi penggunaan di tingkat petani yang sampai sekarang masih sekitar 25 % terutama untuk tanaman padi. Meskipun banyak petani yang memelihara ternak (kerbau, kambing, dan ayam kampung), namun partisipasi petani yang menggunakan pupuk organikmasih renah dengan dosis yang berkisar antara 300 – 1.000 kg pupuk kandang untuk tanaman padi.
    Banyak aspek yang membuat petani belum mengadopsi pupuk organik. Seperti masalah volumnes pupuk organik, sehingga meemrlukan biaya angkut yang cukup besar. Dampak penggunaan pupuk organik tidak langsung dan kurang nyata, berbeda dengan penggunaan pupuk kimiawi sehingga petani masih belum percaya diri dengan pupuk organik. Oleh karena itu, pembinaan kepada petani harus dilakukan secara terus menerus dan terkoordinasi dengan baik. Peran Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, badan dan Penyuluhan dan Instansi terkait seperti BPTP sangat besar dalam upaya tersebut.

Komentar