MENGOLAH SAMPAH UNTUK PAKAN TERNAK

Sampah merupakan persoalan kronis di perkotaan. Tapi peristiwa longsornya TPA sampah di Leuwigajah, Bandung  21 Februbari 2005 lalu teramat tragis. Sampah itu mesti sampai mengubur 143 orang dan 139 rumah. Akibatnya TPA tersebut ditutup dan sebagai dampaknya kini kota Bandung menjadi lautan sampah.
Tumbuhnya kawasan perkotaan sebagai konsekuensi dari perkembangan sektor industri dan perdagangan mengundang urbanisasi yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan produksi sampah. Di kota-kota besar  persoalan sampah terasa semakin serius. Disatu sisi produksi sampah semakin tinggi, dipihak lain lokasi pembuangan menjadi masalah karena makin terbatasnya lahan kosong di perkotaan.
Di kota Denpasar misalnya, produksi sampah per hari mencapai rata-rata 2.150 m³, yang menurut ahli tata ruang diperlukan tempat pembuangan (TPA) setidaknya seluas 40 ha. Sedangkan di Bandung produksinya mencapai 8.000 m3 dan di Jakarta produksi sampahnya rata-rata 26.000 m3 per hari, tentu ini memerlukan lokasi TPA yang jauh lebih luas. Masalahnya, penetapan lokasi TPA diberbagai daerah sering diperotes oleh masyarakat setempat karena dianggap mengganggu lingkungan.
Padahal sampah memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi produk-produk bernilai ekonomis. Pada setiap meter kubik sampah kota beratnya antara 120 – 170 kg dan sekitar 70 – 74 % diantaranya merupakan sampah organik. Sampah an-organik yang meliputi 26 – 30 %, antara lain terdiri dari berbagai jenis logam, plastik, kertas, serta barang pecah belah yang dapat didaur ulang menjadi berbagai produk yang berharga. Sedangkan sampah organik yang merupakan komponen lebih besar, pada skala terbatas telah diproses menjadi kompos.
Sebenarnya ada teknologi lain untuk menproses sampah organik ini menjadi produk yang lebih bernilai ekonomis, yakni sebagai pakan ternak. Hal ini akan menjadi lebih penting artinya jika diingat pada daerah-daerah berpenduduk padat seperti Jawa, Madura, Bali dan Lombok pengembangan ternak sering mengalami kendala keterbatasan lahan untuk pengembangan hijauan makanan ternak (HMT). Dipihak lain di daerah-daerah tersebut produksi sampahnya sangat tinggi, lebih-lebih di kawasan perkotaan.
Bila sampah organik langsung dikomposkan produk yang diperoleh hanya satu jenis yakni pupuk organik. Melalui proses pembuatan pakan, sampah tersebut bisa “dilewatkan” perut ternak sehingga dapat dihasilkan produk daging dan pupuk organik yang diperoleh dari kotoran ternak. Dengan pola pemanfaatan ini akan diperoleh nilai tambah yang lebih tinggi dengan pengguna produk yang lebih luas dan dapat memecahkan dua persolan sekaligus yaitu mengurangi pencemaran lingkungan dan mengatasi kekurangan bahan pakan ternak
PEMISAHAN
Untuk membuat pakan dari sampah diperlukan beberapa tahap proses mulai dari pemisahan, pencacahan, fermentasi, dilanjutkan dengan pengeringan, penepungan, pencampuran danpelleting.
Pemisahan sampah organik dari sampah an-organik dimaksudkan agar bahan yang diolah hanyalah bahan-bahan yang dapat dicerna oleh ternak serta menghidarkan ternak dari mengkonsumsi bahan-bahan beracun atau yang mengandung logam berat. Pemisahan akan lebih efektif dan efisien jika dilakukan ditangkat produsen (dipasar atau rumah tangga). Karena itu untuk program massal, seyogyanya ditingkat produsen sampah, telah tersedia wadah khusus untuk sampah organik dan anorganik. Produksi sampah dari rumah sakit dan pabrik yang banyak mengandung logam berat atau bahan beracun seyogyanya dihindari.
FERMENTASI DAN PENGOLAHAN
Sampah organik yang telah terpisah dari bahan lain dicacah dengan alat (mesin) pencacah agar bentuknya lebih kecil untuk memudahkan proses fermentasi
Fermentasi dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan gizi dan nilai cerna sampah. Sebab kelemahan sampah sebagai bahan pakan karena kandungan gizi yang rendah, disisi lain kandungan serat kasarnya relatif tinggi. Kandungan protein sampah bervariasi (tergantung komposisi bahan) dengan kisaran 2,5 – 5,5 %.
Dari berbagai teknis fermentasi yang pernah penulis coba sebagai inokulan dalam fermentasi, penggunaan Bio – Cas memberikan hasil yang terbaik serta praktis dalam penggunaannya, mengingat mikroba didalamnya  bersifat facultatif sehingga fermentasi tidak harus dilakukan secara an-aerob. Melalui fermentasi dengan  Bio – Cas selama       5 – 6 hari, kandungan protein sampah bisa ditingkatkan menjadi 6-8 % sedangkan pada kandungan serat kasar dapat diturunkan dari sekitar 21-23 % menjadi 13-14 %.   Disamping itu bau sampah akan hilang dan valatebelitasnya meningkat.
Setelah difermentasi, sampah dikeringkan (bisa dengan sinar matahari) selanjutnya digiling hingga dihasilkan tepung sampah. Tepung sampah ini fungsinya sama dengan hijauan makanan ternak (HMT), namun dengan kandungan air yang lebih kecil (lebih kering), penggunaanya dalam ransum lebih hemat serta bisa disimpan lebih lama. Untuk penggemukan sapi atau ternak lain (kerbau, kambing) pemberian tepung sampah saja kurang memadai. Karena itu perlu ditambah bahan lain yakni konsentrat dan mineral, sehingga diperoleh pakan komplit.
Kelemahan lain dari tepung sampah, kandungan asam phitatnya masih relatif tinggi sehingga dapat menghambat absorbsi calsium dan phosfor. Untuk itu akan lebih baik jika dalam pakan tersebut diberikan tambahan enzym (phitase).
Untuk memudahkan dalam pemberian, penyimpanan maupun pengangkutan, pakan komplit tersebut seyogyanya dibuat dalam bentuk pellet yang prosesnya dilakukan setelah pencampuran. Namun dalam kondisi tertentu pakan dalam bentuk mash tidak menjadi masalah.
HASIL PENELITIAN
Idealnya ransum komplit diberikan sekitar 2,5 – 3 % dari berat hidup ternak per hari. Misalnya sapi yang bobotnya 300 kg memerlukan pakan komplit 7,5 – 8 kg per hari. Dengan jumlah pakan ini sapi tidak memerlukan lagi HMT atau rumput sama sekali.
Tapi sebagian petani tidak sampai hati untuk tidak memberi rumput sama sekali. Umpamanya ternak tersebut diberikan 3,5 – 4 kg pakan komplit per hari, berarti peternak tinggal memberi rumput 50 % dari kebutuhan semestinya. Kebutuhan HMT atau rumput segar minimal 10 % dari bobot badan ternak per hari. Kebutuhan yang lebih besar ini disebabkan karena pada HMT segar kandungan airnya jauh lebih tinggi dibanding tepung sampah.
Hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali menunjukkan bahwa penggunaan pakan komplit berbahan baku sampah olahan sebanyak 1,5 % dari bobot badan sapi yang berat awalnya 250-300 kg selama 4 bulan, memberikan pertambahan berat badan (PBB) rata-rata 630 gram per hari. Pada penggunaan ransum komplit secara penuh (2,5 % dari bobot badan), memberikan PBB sekitar 750 gram per ekor per hari. Sedangkan sapi yang dipelihara secara tradisional (hanya diberikan HMT) angka PBB nya hanya 250 – 300 gram / ekor / hari.
Secara ekonomis pemanfaatan sampah untuk pakan ini sangat prospektif mengingat bahan dan biaya produksinya relatif murah, sedangkan efeknya terhadap pertumbuhan sapi cukup baik. Berdasarkan analisa ekonomi, penggemukan sapi dengan ransum komplit berbahan baku sampah dibanding dengan cara tradisional dapat meningkatkan keuntungan sekitar 150 – 200% ( Penulis  :I Gusti Made Widianta, SP / Penyuluh BPTP Bali, Sumber :  Ir.  Suprio Guntoro/Peneliti  dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)  Bali.

Komentar