~ BERTANAM CABE KERITING KOPAY ~

Sebuah kebetulan ketika Syahrul Yondri (43) menemukan cabai merah keriting yang panjangnya sampai 35 sentimeter tahun 2005. Sebagai petani yang gemar meneliti, dia sesungguhnya tengah bereksperimen untuk menemukan cara mengatasi virus kuning.Dorongan untuk mendapatkan cara mengatasi virus kuning berawal ketika Yon, panggilan Syahrul Yondri, gagal panen sampai tiga kali. Setelah mengalami kerugian Rp 20 juta akibat virus kuning, petani cabai di Kelurahan Koto Panjang Lampasi, Kecamatan Payakumbuh Utara, Sumatera Barat, ini menghabiskan waktu lima tahun bereksperimen untuk mendapatkan cara menanggulangi virus yang mematikan tanaman cabai itu.

Dari sejarah, Yon menemukan petunjuk model penanaman zaman nenek moyang. Petani zaman dulu menanam cabai di lahan yang dikelilingi kolam karena tanaman menjadi lebih kuat menghadapi penyakit. Yon pernah mencoba cara itu, dan memang ada peningkatan ketahanan tanaman.

”Prinsipnya, virus itu tak tahan terkena panas yang kuat. Biasanya, virus bersembunyi di bagian bawah daun. Air berfungsi memantulkan cahaya sehingga panas matahari memantul dan mengenai bagian bawah daun,” kata Yon yang juga menjadi Ketua Kelompok Tani Tunas Baru.

Akan tetapi, dia belum puas dengan hasil itu. Dicobanya memakai cermin yang diletakkan di tanah, tepat di bawah tanaman. Hasilnya bukan saja menghambat perilaku mematikan virus itu, tetapi juga membuat proses pemasakan tanaman lebih baik. Dari sinilah Yon memanen buah cabai yang lebih panjang dibandingkan cabai pada umumnya.

Perkembangan selanjutnya, fungsi kaca diganti plastik mulsa yang diberi cat perak. Dengan demikian, pemantulan cahaya tetap terjadi sehingga virus yang biasa tinggal di bagian bawah daun terbunuh pula.

Dari sisi perawatan tanaman, petani juga tak repot mengurus karena tanaman cabai kopay juga lebih tahan terhadap serangan virus kuning.

”Memang daun tanaman masih tetap kuning, tetapi tanaman tetap berbuah dan buahnya masih tetap baik,” tutur Yon yang akan melakukan serangkaian penelitian lanjutan untuk melemahkan serangan virus agar daun tanaman tidak menguning.

Buah terpanjang

Ketika pertama kali memperoleh buah cabai yang berukuran lebih panjang, dia lalu berpikir untuk melakukan penyempurnaan buah. Dari panen pertama dipilihnya buah terpanjang untuk dikembangbiakkan lagi.

Pada panen kedua, dia juga kembali memilih satu buah cabai yang paling unggul. Biji buah disemaikan lagi sehingga menghasilkan buah dengan kualitas yang semakin baik. Panjang cabai berkisar 30-33 sentimeter, bahkan pernah mencapai 40 cm. Padahal, cabai biasa rata-rata hanya 20 cm.

Sejumlah 20 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Tunas Muda dan puluhan petani lain di Koto Panjang Lampasi juga senang menanam cabai ini. Itu bukan semata-mata karena ukurannya yang lebih besar dibandingkan cabai biasa atau karena pohon cabai bisa setinggi satu meter, tetapi karena hasil panen yang lebih banyak.

Setiap batang cabai kopay mampu menghasilkan sekitar 1,4 kilogram per masa tanam, sedangkan tanaman cabai pada umumnya memproduksi enam ons saja. Pada usia 90 hari, petani mulai memanen cabai untuk pertama kali.

Petani juga gembira karena harga jual cabai kopay jauh di atas rata-rata. Ketika harga cabai di Sumatera Barat berkisar Rp 14.000 per kg, cabai kopay sudah menembus Rp 22.000. Harga termurah cabai kopay Rp 15.000 per kg, tetapi itu terjadi sekali saja dan bertahan hanya seminggu. Umumnya harga cabai kopay berkisar Rp 20.000 per kg.

Meski harga cabai kopay tinggi, rasa cabai yang pedas tetapi tidak melilit dan lebih awet dibandingkan dengan cabai biasa ini membuat cabai kopay diperdagangkan sampai ke Provinsi Riau.

Sayangnya, permintaan mengirim dua ton cabai per hari untuk seorang pedagang saja belum sanggup dipenuhi petani di Koto Panjang Lampasi. Sebab, produksi petani baru mencapai dua ton per minggu.

Begitu menggiurkannya prospek menanam cabai kopay, sampai-sampai pemuda di sekitar tempat tinggal Yon pun mulai ikut bertanam cabai.

”Para pemuda itu dulu hanya duduk-duduk di kedai kopi saja karena mereka tak punya pekerjaan. Tapi begitu melihat prospek cabai kopay, mereka mulai menggarap lahan milik keluarga atau menyewa lahan,” ucap Yon yang telah membeli tanah, rumah, dan mobil dari hasil menjual cabai.

Tak mau terkenal

Sebagai pencinta tanaman cabai, Yon masih menyimpan sejumlah pekerjaan rumah, seperti meneliti cara pertanian organik yang sepenuhnya bebas dari produk pabrik. Yon sadar bahwa menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan petani tak bisa digantungkan pada orang lain. Petanilah yang paling mengerti kondisi dunia pertanian.

”Penyuluh lapangan itu pun belum tentu pernah menanam cabai. Teori juga belum tentu bisa diterapkan di lapangan,” kata Yon.

Dia pun tak risau ketika Wali Kota Payakumbuh Josrizal memberikan nama kopay untuk cabai tersebut, bukan nama Yon sebagai penemunya. Kopay merupakan akronim dari ”Kota Payakumbuh-Yon”.

”Ah, biarlah nama itu, yang penting saya tetap bisa mencari cara agar pertanian ini dapat meningkatkan kesejahteraan petani,” ucapnya.

Cabai kopay yang menjadi kebanggaan Kota Payakumbuh tengah dalam proses sertifikasi, agar produk ini tidak diklaim oleh pihak lain. Yon sebenarnya ingin agar cabai kopay bisa ditanam di banyak daerah, sejauh itu dapat menambah penghasilan petani.

Di tengah keberhasilan yang dipetiknya, Yon tetap sederhana. Sehari-hari dia suka mengenakan kaus dan bersandal jepit. Dia bahkan merasa risi ketika namanya mulai dikenal sehingga banyak tamu yang datang ke kampungnya.

”Kalau banyak tamu, waktu saya untuk bereksperimen makin terbatas. Kapan bisa menyelesaikan pekerjaan rumah, ha-ha-ha…,” kata Yon yang memutuskan tidak punya telepon seluler ini.

Alumnus SPG, Berjaya di Ladang

Menjadi petani cabai adalah profesi kesekian yang dilakoni tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Payakumbuh ini. Setelah mengajar selama sebulan di SD Negeri Koto Nan Gadang, suami Yulismar itu menjadi montir alat elektronik sekitar enam tahun.

Setelah itu, pria kelahiran Payakumbuh, 30 Juli 1965, ini beralih menjadi tukang bangunan seperti yang dilakukan ayahnya.

Setelah sembilan tahun menjadi tukang, ayah dari Siska Sri Indah Mulia itu mencoba bertanam. Ketika itu, seorang kawan menganjurkan Yon menanam cabai sebab komoditas ini menjanjikan hasil ketimbang menanam padi.

Awalnya Yon mencoba di lahan 1.000 meter persegi yang disewanya seharga Rp 150.000 per masa tanam cabai. Ia mulai menjadi petani. Masa itu, selain bertani, dia juga masih menerima tawaran bekerja sebagai buruh bangunan.

Lama kelamaan, Yon lebih tertarik kepada tanaman yang memberinya pendapatan sekaligus tantangan itu. Penelitian cara memberantas virus kuning menjadi salah satu wujud kecintaannya kepada dunia pertanian.

Petani yang sukses mungkin syaratnya adalah petani yang gemar meneliti, seperti yang dilakukan oleh Syahrul Yondri (43), yang menemukan cabai merah keriting yang panjangnya sampai 35 cm pada tahun 2005. Penemuan itu adalah hasil sampingan, karena sebenarnya Yon–sapaan Syahrul–bermaksud menemukan cara untuk mengatasi virus kuning.

Dorongan untuk meneliti juga karena alasan yang memaksa: ia telah kelihangan uang puluhan juta dan gagal panen berulang kali. Ia menghabiskan waktu cukup panjang untuk penelitian itu, yaitu lima tahun, namun hasilnya sepadan, kalau tidak bisa dikatakan memuaskan.

Kini para petani di daerahnya di Kelurahan Koto Panjang Lampasi, Kecamatan Payakumbuh Utara, Sumatera Barat, senang menggunakan bibit cabai Kopay temuan Yon yang memiliki harga jual di atas rata-rata. Penjualan petani pun merambah hingga ke provinsi tetangga, Riau. Mereka bahkan tidak dapat memenuhi order dua ton per hari. Para pemuda pun mulai ikut bertanam cabai, dari sebelumnya menjadi penganggur. Yon juga bisa membeli tanah, rumah dan mobil dari berjualan cabai.

Yon, Sederhana di Tengah Pohon Cabai Kopay Agnes Rita Sulistyawaty Sebuah kebetulan ketika Syahrul Yondri (43) menemukan cabai merah keriting yang panjangnya sampai 35 sentimeter tahun 2005. Sebagai petani yang gemar meneliti, dia sesungguhnya tengah bereksperimen untuk menemukan cara mengatasi virus kuning. Dorongan untuk mendapatkan cara mengatasi virus kuning berawal ketika Yon, panggilan Syahrul Yondri, gagal panen sampai tiga kali. Setelah mengalami kerugian Rp 20 juta akibat virus kuning, petani cabai di Kelurahan Koto Panjang Lampasi, Kecamatan Payakumbuh Utara, Sumatera Barat, ini menghabiskan waktu lima tahun bereksperimen untuk mendapatkan cara menanggulangi virus yang mematikan tanaman cabai itu. Dari sejarah, Yon menemukan petunjuk model penanaman zaman nenek moyang. Petani zaman dulu menanam cabai di lahan yang dikelilingi kolam karena tanaman menjadi lebih kuat menghadapi penyakit. Yon pernah mencoba cara itu, dan memang ada peningkatan ketahanan tanaman. ”Prinsipnya, virus itu tak tahan terkena panas yang kuat. Biasanya, virus bersembunyi di bagian bawah daun. Air berfungsi memantulkan cahaya sehingga panas matahari memantul dan mengenai bagian bawah daun,” kata Yon yang juga menjadi Ketua Kelompok Tani Tunas Baru. Akan tetapi, dia belum puas dengan hasil itu. Dicobanya memakai cermin yang diletakkan di tanah, tepat di bawah tanaman. Hasilnya bukan saja menghambat perilaku mematikan virus itu, tetapi juga membuat proses pemasakan tanaman lebih baik. Dari sinilah Yon memanen buah cabai yang lebih panjang dibandingkan cabai pada umumnya. Perkembangan selanjutnya, fungsi kaca diganti plastik mulsa yang diberi cat perak. Dengan demikian, pemantulan cahaya tetap terjadi sehingga virus yang biasa tinggal di bagian bawah daun terbunuh pula. Dari sisi perawatan tanaman, petani juga tak repot mengurus karena tanaman cabai kopay juga lebih tahan terhadap serangan virus kuning. ”Memang daun tanaman masih tetap kuning, tetapi tanaman tetap berbuah dan buahnya masih tetap baik,” tutur Yon yang akan melakukan serangkaian penelitian lanjutan untuk melemahkan serangan virus agar daun tanaman tidak menguning. Buah terpanjang Ketika pertama kali memperoleh buah cabai yang berukuran lebih panjang, dia lalu berpikir untuk melakukan penyempurnaan buah. Dari panen pertama dipilihnya buah terpanjang untuk dikembangbiakkan lagi. Pada panen kedua, dia juga kembali memilih satu buah cabai yang paling unggul. Biji buah disemaikan lagi sehingga menghasilkan buah dengan kualitas yang semakin baik. Panjang cabai berkisar 30-33 sentimeter, bahkan pernah mencapai 40 cm. Padahal, cabai biasa rata-rata hanya 20 cm. Sejumlah 20 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Tunas Muda dan puluhan petani lain di Koto Panjang Lampasi juga senang menanam cabai ini. Itu bukan semata-mata karena ukurannya yang lebih besar dibandingkan cabai biasa atau karena pohon cabai bisa setinggi satu meter, tetapi karena hasil panen yang lebih banyak. Setiap batang cabai kopay mampu menghasilkan sekitar 1,4 kilogram per masa tanam, sedangkan tanaman cabai pada umumnya memproduksi enam ons saja. Pada usia 90 hari, petani mulai memanen cabai untuk pertama kali. Petani juga gembira karena harga jual cabai kopay jauh di atas rata-rata. Ketika harga cabai di Sumatera Barat berkisar Rp 14.000 per kg, cabai kopay sudah menembus Rp 22.000. Harga termurah cabai kopay Rp 15.000 per kg, tetapi itu terjadi sekali saja dan bertahan hanya seminggu. Umumnya harga cabai kopay berkisar Rp 20.000 per kg. Meski harga cabai kopay tinggi, rasa cabai yang pedas tetapi tidak melilit dan lebih awet dibandingkan dengan cabai biasa ini membuat cabai kopay diperdagangkan sampai ke Provinsi Riau. Sayangnya, permintaan mengirim dua ton cabai per hari untuk seorang pedagang saja belum sanggup dipenuhi petani di Koto Panjang Lampasi. Sebab, produksi petani baru mencapai dua ton per minggu. Begitu menggiurkannya prospek menanam cabai kopay, sampai-sampai pemuda di sekitar tempat tinggal Yon pun mulai ikut bertanam cabai. ”Para pemuda itu dulu hanya duduk-duduk di kedai kopi saja karena mereka tak punya pekerjaan. Tapi begitu melihat prospek cabai kopay, mereka mulai menggarap lahan milik keluarga atau menyewa lahan,” ucap Yon yang telah membeli tanah, rumah, dan mobil dari hasil menjual cabai. Tak mau terkenal Sebagai pencinta tanaman cabai, Yon masih menyimpan sejumlah pekerjaan rumah, seperti meneliti cara pertanian organik yang sepenuhnya bebas dari produk pabrik. Yon sadar bahwa menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan petani tak bisa digantungkan pada orang lain. Petanilah yang paling mengerti kondisi dunia pertanian. ”Penyuluh lapangan itu pun belum tentu pernah menanam cabai. Teori juga belum tentu bisa diterapkan di lapangan,” kata Yon. Dia pun tak risau ketika Wali Kota Payakumbuh Josrizal memberikan nama kopay untuk cabai tersebut, bukan nama Yon sebagai penemunya. Kopay merupakan akronim dari ”Kota Payakumbuh-Yon”. ”Ah, biarlah nama itu, yang penting saya tetap bisa mencari cara agar pertanian ini dapat meningkatkan kesejahteraan petani,” ucapnya. Cabai kopay yang menjadi kebanggaan Kota Payakumbuh tengah dalam proses sertifikasi, agar produk ini tidak diklaim oleh pihak lain. Yon sebenarnya ingin agar cabai kopay bisa ditanam di banyak daerah, sejauh itu dapat menambah penghasilan petani. Di tengah keberhasilan yang dipetiknya, Yon tetap sederhana. Sehari-hari dia suka mengenakan kaus dan bersandal jepit. Dia bahkan merasa risi ketika namanya mulai dikenal sehingga banyak tamu yang datang ke kampungnya. ”Kalau banyak tamu, waktu saya untuk bereksperimen makin terbatas. Kapan bisa menyelesaikan pekerjaan rumah, ha-ha-ha…,” kata Yon yang memutuskan tidak punya telepon seluler ini. Alumnus SPG, Berjaya di Ladang Menjadi petani cabai adalah profesi kesekian yang dilakoni tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Payakumbuh ini. Setelah mengajar selama sebulan di SD Negeri Koto Nan Gadang, suami Yulismar itu menjadi montir alat elektronik sekitar enam tahun. Setelah itu, pria kelahiran Payakumbuh, 30 Juli 1965, ini beralih menjadi tukang bangunan seperti yang dilakukan ayahnya. Setelah sembilan tahun menjadi tukang, ayah dari Siska Sri Indah Mulia itu mencoba bertanam. Ketika itu, seorang kawan menganjurkan Yon menanam cabai sebab komoditas ini menjanjikan hasil ketimbang menanam padi. Awalnya Yon mencoba di lahan 1.000 meter persegi yang disewanya seharga Rp 150.000 per masa tanam cabai. Ia mulai menjadi petani. Masa itu, selain bertani, dia juga masih menerima tawaran bekerja sebagai buruh bangunan. Lama kelamaan, Yon lebih tertarik kepada tanaman yang memberinya pendapatan sekaligus tantangan itu. Penelitian cara memberantas virus kuning menjadi salah satu wujud kecintaannya kepada dunia pertanian. (ART) Sumber: Kompas

BAGI YANG BUTUH BIBIT CABE KOPAY HUB. 081274664892

Syahrul Yondri: Penemu Cabe Kopay


DI ATAS sepetak lahan kecil di tengah ladangnya yang luas pada 2005, Syahrul Yondri, 43 tahun, petani cabe di Kelurahan Koto Panjang, Kenagarian Lampasi, Payakumbuh menanam 150 batang cabe merah keriting.

Biasanya di ladangnya yang luasnya 2 hektare, ia menanam lebih seribu rumpun cabe. Namun panen cabenya baru saja digagalkan virus kuning yang dibawa serangga mirip kupu-kupu yang diberi nama virus kutu kebo.

Seluruh daun cabenya menguning dan tidak sempat berbuah. Bukan cabenya saja yang terkena, tetapi juga cabe-cabe milik petani di Limpasi, hampir semuanya gagal panen.

Apalagi virus kutu kebo tersebut tahan berbagai pestisida yang disemprotkan petani.

Akhirnya Syahrul berinisiatif melakukan penelitian kecil-kecilan mencari cara menyingkirkan virus yang dibawa si kutu kebo. Ia mulai mempersiapkan lahan untuk ditanami cabe untuk sarana penelitiannya. Ia menanam 150 cabe keriting lokal.

“Saat cabe saya diserang, saya amati, hama kutu kebo itu sepertinya tidak tahan panas matahari, kalau cahaya matahari sedang terik, dia berlindung di bawah daun, makanya saya membuat cara agar hama di balik daun itu kena cahaya,” katanya.

Yon memulai percobaannya. Di bawah rumpun cabe yang baru tumbuh, ia meletakkan pecahan cermin serta aluminium foil bekas makanan kecil. Ternyata lumayan berhasil. Hama kutu kebo mulai enggan hinggap, selama tiga bulan, lebih separuh cabe bebas dari kutu kebo dan bisa menghasilkan buah.

“Sepanjang hari saya amati pertumbuhannya, banyak juga orang kampung yang mengatakan saya sedang stres, kehilangan akal, karena hampir setiap hari bermenung di depan rumpun cabe,” kata Yon.

Melihat ada hasilnya, Yon memutar otak mencari cara mengganti cermin dan aluminium foil bekas bungkus makanan kecil untuk memantulkan cahaya agar lebih praktis. Akhirnya pilihan jatuh ke plastik mulsa perak yang biasa digunakan petani saat bertanam untuk melindungi tanaman dari gulma.

Karena mulsa kurang banyak memantulkan cahaya, Yon mengecat plastik mulsa dengan warna perak, lalu ia menanam cabe lagi, menggunakan pupuk kompos dan menutup bedengan tanah dengan mulsa.

Hama makin jauh berkurang, bahkan cabenya jauh lebih subur. “Ada yang panjangnya 22 cm, lebih panjang dari biasanya yang hanya 17 cm,” kata Yon.

Ia lalu memilih bibit cabe yang unggul dan paling panjang, lalu mulai menyemainya kembali.

Ia kembali bertanam cabe dengan menggunakan mulsa, lalu mulai menambah pupuk kompos dua kali lebih banyak dari biasa. Biasanya satu rumpun menggunakan 1 kilogram kompos, kini ia tambahkan menjadi 2 kilogram per batang cabe.

Cabenya subur dan hama kutu kebo tidak ada lagi, begitu juga hama lainnya. Hasilnya cabenya semakin panjang, bahkan ada dua batang cabe yang memiliki buah yang panjangnya hingga 35 cm. Salah satu batang cabe berdahan pendek sehingga buahnya menjuntai ke tanah, dan satunya lagi lebih tinggi dan panjang buah tetap sama.

Yon memilih mengembangkan bibit cabe dari batang yang tinggi, agar buahnya nanti tidak busuk karena menyentuh tanah.



Tiga Kali Percobaan

Akhirnya setelah tiga kali percobaan, Yon kembali menanami ladang cabenya seperti semula. Dari 1 kilogram bibit cabe unggul yang telah dipilihnya, ia mendapatkan bibit 1.200 batang cabe. Lalu Yon mulai bertanam seperti perlakuan pada penelitiannya, diberi kompos 2 kilogram tiap tanaman dan ditutup mulsa.

Hasilnya, tiga bulan kemudian buah cabe yang muncul panjang-panjang, bahkan pada musim panen minggu pertama ada yang panjangnya 40 cm. Rata-rata panjangnya 25 cm hingga 35 cm. Ia menikmati masa panen selama 27 kali panen atau 14 minggu. Sebatang cabe bisa mengasilkan 1,4 kilogram cabe.

Yon jelas lebih beruntung dibandingkan cabe keriting biasa. Dulu ia hanya bisa panen selama 9 minggu atau 17 kali panen dengan hasil 4-7 ons cabe per batang.

“Buah cabe dalam sebatang itu sama, tetapi yang menguntungkan itu kan karena cabenya lebih panjang, jadi lebih berat, 1 kilogram cabe keriting biasa 260 buah sedangkan 1 kg cabe kopay berjumlah 90-110 buah cabe,” kata Yon.

Cabenya langsung disambut pasar dengan harga lebih tinggi. Cabe keriting biasa saat itu Rp18 ribu per kilogram, cabe kopay milik Yon dihargai Rp24 ribu per kilogram, semua dibeli untuk pemasaran ke Pekanbaru.

“Mungkin orang mau beli karena bentuknya aneh, ada cabe keriting kok panjang, selain itu cabenya juga lebih tahan terhadap suhu ruang, bisa seminggu tidak busuk, kalau cabe biasa hanya tahan 3 hari,” katanya.

Ia saat itu berhasil panen cabe 1,3 ton dan meraup untung Rp40 juta. Uang tersebut digunakannya untuk membeli lahan seluas 1.700 meter untuk tempat mendirikan rumah dan ladang cabenya. Sebelumnya ia menyewa lahan.

Namun kesuksesan Yon masih belum dipercayai petani di kampungnya.

“Banyak yang mengatakan itu hanya kebetulan, bahkan mereka menolak bibit yang saya berikan,” kata Yon.

Yon lalu mulai bertanam lagi, kali ini 1.600 batang, namun ia terus memilih bibit dari cabe yang paling unggul. Panen kedua, cabenya tetap panjang-panjang dan ia meraup untung Rp45 juta dari hasil cabe 2,4 ton. Ada yang mulai percaya kepada Yon. Seorang petani minta bibit darinya dan dibimbing Yon saat bertanam. Hasilnya bagus.

“Sejak melihat panen saya berhasil, orang-orang mulai tertarik dan percaya, lalu ramai-ramai menanam cabe dari bibit saya,” kata Yon yang juga Ketua Kelompok Tani Tunas Maju di kampungnya.

Yon juga setia menggunakan pupuk organik. Pupuk organik ini dibuatnya sendiri dengan mencampurkan jerami padi, kotoran sapi, dan trikoderma. Untuk 2 hektar lahannya ia membutuhkan 50 ton pupuk kompos.

“Saat ini saya juga menjual bibit bersama kelompok tani, harganya Rp75 ribu per kilogram, bibit ini dipilih dari cabe terbaik dan sejah tahun lalu mulai ditanam petani-petani di Sumatera Barat, kalau cabenya tetap dipasarkan ke Riau,” katanya.

Nama cabe kopay diberikan Wali Kota Payakumbuh Josrizal Zain agar diakui sebagai varietas lokal asli dari Payakumbuh.

Saat ini cabe Kopay telah mendapat sertifikat dari Balai Pemurnian dan Sertifikasi Benih Kantor Pusat Perlindungan Varietas Tanaman Departemen Pertanian. Oktober 2008, rencananya akan diseminarkan dan akan diluncurkan sebagai varietas baru.

Syahrul saat ini sudah hidup lumayan di kampungnya. Punya lahan yang luas, rumah permanen tipe 150 meter persegi, dan sebuah mobil Suzuki Carry. Pria kelahiran 1965 ini tinggal bersama istrinya, Yulismar, dan anak gadisnya, Siska Sri Indah Mulia.

Kini selain bernama cabe, ia juga menjual bibit cabe. Keseharianya kini disibukkan melayani tamu dari kelompok tani berbagai daerah di Sumatera Barat yang datang hamir setiap hari membeli bibit dan minta diajarkan bertanam cabe kopay.

“Ini juga ditangani kelompok tani kami, karena menyita waktu, kini kami kenai bayaran Rp350 ribu per hari untuk satu kelompok tani, karena sekarang waktu saya habis untuk itu, tidak sempat lagi mengurus cabe sehingga saya harus punya anak buah untuk membantui mengurus cabe,” katanya.

Syahrul berharap petani lain bisa merasakan bagaimanan senangnya jadi petani.

“Sebab selama ini penilaian orang derajat petani terlalu rendah, dengan kopay, ekonomi naik, sehingga petani disegani orang, agar orang tidak berpacu lagi menjadi pegawai negeri, petani juga bisa hidup senang seperti orang lain,” katanya.

Yon mulai menjadi petani sejak tahun 2000. Tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada1985, ia sempat menjadi guru SD sebentar, karena pendapatan kecil, ia banting stir menjadi montir elektronik pada 1990.

Setelah banyak muncul bengkel elektronik lain, ia banting stir menjadi tukang bangunan hingga mengerjakan proyek pembangunan Rumah Sakit Adnan Payakumbuh. Namun ia tak memperoleh keuntungan, akhirnya pada 2000 kariernya berakhir di lahan pertanian.

Lahan itulah yang mengantarnya menjadi penemu cabe besar, Cabe Kopay, cabe asli dari Kota Payakumbuh.

Cabe Kopay, Menyebar ke Seluruh Indonesia

Cabe Kopay, jenis cabe unggul yang dimuliakan Syahrul Yondri, petani cabe di lampasi , Kota Payakumbuh kini telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Permintaan bibit cabe yang panjangnya mencapai 35 cm, telah datang hampir dari seluruh propinsi di Sumatera , jawa, bahkan Kalimantan.
Masrial, salah seorang penangkar bibit cabe Kopay, selain Syahrul Yondri di kelurahan Koto Panjang , Kecamatan Lampasi, Kota Payakumbuh mengungkapkan permintaan bibit cabe datang dari Riau, Sumatera Selatan, Aceh, Jambi, Jawa Barat, Jawa Timur dan beberapa propinsi di Kalimantan. “Kebanyakan mereka tahu mengenai bibit ini melalui internet,” ucap anggota Kelompok Tani Tunas Baru ini.
Permintaan bibit yang rutin berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Dalam dua kali musim tanam terakhir, katanya, dua orang petani di Jabar dan Jatim yakni, Umar dan Hamdan Fantoni selalu memesan bibit cabe kopay yang mereka hasilkan. “Minimal mereka memesan setengah kilogram biji setiap bulannya,” tambah Masrial.
Untuk mengembangkan Cabe Kopay ini, Kelompok Tani Tunas Baru memang telah memiliki unit usaha penangkaran bibit cabe ini. Syahrul Yondri dan Masrial adalah dua orang petani cabe dikelompok tersebut yang menjadi penangkar bibit di kelompok Tani Tunas baru. Kalau ada petani cabe lain yang ingin menghasilkan bibit cabe kopay harus melewati rekomendasi kedua orang ini,selain mengikuti proses sertifikasi di BPSB Bukittinggi.
Menurut Masrial , unit usaha penangkaran bibit Kelompok Tunas Baru telah menghasilkan bibit cabe kopay sebanyak 3 kg biji per tiga bulan. Namun untuk mengantisipasi permintaan, mereka telah memiliki stok sebanyak 1 kg biji. Dia menyebutkan, stok itu sengaja disediakan agar permintaan dapat terpenuhi. ” Stok ini kita sediakan karena permintaan terhadap bibit semakin banyak,” tambahnya.
Dia mengungkan meningkatnya permintaan bibit terhadap cabe kopay, selain dikarenakan memiliki keunggulan panjang yang melebihi cabe keriting biasa, cabe kopay juga diakui banyak petani lebih tahan terhadap serangan virus kuning. “Dibandingkan bibit cabe cap panah merah, cabe kopay diakui petani lebih tahan terhadap serangan virus kuning,” ucapnya.
Cabe Kopay adalah Varietas Cabe Unggul yang berhasil dimuliakan seorang petani cabe di Kota Payakumbuh, Syahrul Yondri. Melalui ketekunannya, dia berhasil memurnikan bibit cabe yang yang memiliki keunggulan panjang buahnya mencapai 35 cm yang kemudian dinamakan cabe Kopay. Kopay sendiri ada yang menyebut kependekan dari Kota Payakumbuh, tapi ada juga Kota Payakumbuh Yondri..
Jenis cabe ini telah mendapatkan pengakuan dari Departemen Pertanian sebagai salah satu varietas unggul lokal dari Sumatera Barat dengan dilepasnya varietas cabe tersebut pada akhir tahun 2008 lalu.

Komentar